Sabtu, 03 September 2016

TEMA dan SUBTEMA GMKI 2016-2018

Foto Bersama KETUM GMKI Terpilih





Ketua GMKI Komisariat FT-UNIMED Bersama KETUM dan SEKUM Terpilih



TEMA     : "BERDAMAILAH DENGAN SEMUA CIPTAAN (Bdk. Kol. 1:15-23)"
Subtema   : "Membudayakan Hidup Damai dan Adil dalam membangun Relasi dengan semua ciptaan Sebagai Wujud Persaudaraan di Negara Pancasila"

A. Pengantar
 Tema dan subtema mempunyai peranan penting dalam kehidupan ber-GMKI. Tema dan subtema menjadi basis teologis dan spiritual dalam upaya-upaya penataan dan pengembangan organisasi sekaligus memberikan tuntunan atau pedoman arah dalam perjuangan GMKI untuk ikut serta dalam proses membangun kehidupan bergereja, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, tema dan subtema harus mampu menangkap kegelisahan dan krisis zaman, sekaligus menawarkan “penerangan” bagi kegelisahan dan krisis itu. Dengan kata lain, tema dan subtema merupakan cerminan dari pergulatan dan pergumulan GMKI di tiga medan layan, yang kemudian mengkristal sebagai semangat dan visi yang mesti dihidupi demi mewujudkan kehadiran GMKI sebagai sebuah organisasi kader yang relevan dan signifikan.
 Dengan demikian, tema dan subtema tidak hanya memerlukan kajian-kajian yang mendalam, tetapi juga membutuhkan komitmen dan semangat untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan ber-GMKI. Tanpa itu, tema dan subtema akan tinggal sebagai jargon, penghias dan pemanis dari organisasi yang irelevan dan isignifikan. Maka, diperlukan nalar kritis dan komitmen sepenuh hati dalam merumuskan, menghayati, dan mengaktualisasikan tema dan subtema.
 Dalam perayaan dan perhelatan akbar pada Kongres di Tarutung kali ini, kita diajak untuk bersama-sama menghayati dan mewujudnyatakan tema dan subtema:
Tema: :BERDAMAILAH DENGAN SEMUA CIPTAAN (Bdk. Kol. 1:15-23)
Subtema : Membangun Budaya Damai dan Adil dalam Relasi dengan semua ciptaan Sebagai Wujud Persaudaraan Yang Menghidupkan di Negara Pancasila

B. Latar  Belakang Tema
Dalam menggumuli tema dan subtema ini, ada dua pendekatan yang dipakai sekaligus, yakni pendekatan atas dan pendekatan bawah.Pendekatan atas adalah upaya untuk melihat keberadaan dan panggilan kita sebagai organisasi kader yang berakar dalam tradisi dan nilai-nilai kristiani. Itu berarti kita diajak untuk melihat jatidiri kita secara teologis, apa yang menjadi dasar dan alasan keberadaan kita sebagai sebuah organisasi mahasiswa Kristen dari sudut pandang teologis.
Sementara itu, pendekatan bawah adalah upaya melihat diri dalam konteks keberadaan kita di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.Indonesia adalah ruang hidup kita.Di negara ini kita tidak hanya menjadi orang Kristen di Indonesia, tetapi menjadi orang Kristen Indonesia atau orang Indonesia Kristen.Itu berarti secara sosiologis kita terkait erat dengan keindonesiaan yang memberikan kepada kita identitas sebagai Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, sehingga kita pun harus memberikan perhatian penuh kepada persoalan-persoalan keindonesiaan dan kebangsaan.
Dalam konteks keindonesiaan, hasil studi dalam KONAS di Kendari memperlihatkan bahwa kita sedang mempunyai persoalan serius dalam hal relasi, baik dalam konteks relasi-relasi global maupun relasi-relasi nasional. Dalam ranah global, proses globalisasi melalui perdangan bebas telah mendorong lahirnya pola relasi yang tidak seimbang antara negara-negara kaya dengan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Sementara dalam konteks nasional, ketidakseimbangan atau ketidakadilan juga mewarnai relasi-relasi yang terbangun di antara berbagai pemangku kepentingan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada satu sisi terdapat sekelompok kecil orang yang begitu kaya, dan pada sisi lain sebagian besar masyarakat berada dalam kondisi miskin.Inilah potret kesenjangan sosial yang masih menghantui relasi-relasi kita sebagai bangsa Indonesia.
Sejalan dengan itu, kita melihat dengan sangat kasat mata bagaimana alam dieksploitasi demi memenuhi hasrat hedonis dan konsumtif dari manusia.Yang penting manusia kaya dan perusahaan mendapatkan keuntungan besar.Keserakarahan ini menghasilkan kekerasan dan kerusakan alam yang sangat serius.Alam atau ibu bumi kita sedang sekarat, karena selama ini hanya dijadikan sebagai objek.
Jika kita telisik dengan lebih seksama, rupaya pola relasi subjek-objek itu “terpahat” dalam berbagai model relasi.Dalam konteks pendidikan misalnya, para murid atau mahasiswa lebih sering diperlakukan sebagai objek pasar pendidikan.Pendidikan lalu menjadi sangat komersial; diorientasikan hanya untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, kita dapat mencatat di sini kegelisahan kita sebagai bangsa di mana kekerasan masih mewarnai relasi-relasi antarwarga negara dan bangsa karena perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, juga kekerasan apparatus negara terhadap warganya.Kendati Pancasila telah kita jadikan sebagai batu alas bagi berdirinya bangsa dan ditetapkan sebagai falsafah hidup bernegara, tetapi berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi membuktikan bahwa Pancasila belum sungguh-sungguh kita hayati sebagai nilai-nilai kehidupan. Pancasila masih sebatas jargon dan sering dijadikan semata-mata sebagai tameng untuk menyembunyikan sebuah kepentingan.
Singkat kata, kita sedang diperhadapkan pada persoalan rusaknya relasi. Dan, relasi yang rusak di antara berbagai pemangku kepentingan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di atas bumi ciptaan Tuhan ini harus dipulihkan, diperdamaikan, dan dikonstruksikan untuk menghasilkan kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan untuk semua warga bangsa dan bagi alam, ibu bumi, yang memiliki kehidupan sendiri dan mempersembahkan kehidupannya itu untuk kehidupan kita umat manusia.
Oleh karena itu, kita membutuhkan perspektif (teologis) yang menolong kita untuk melihat kehidupan secara lebih utuh dan yang mendorong kita untuk mengambil langkah-langkah pemulihan dan pendamaian. Bahkan, dengan perspektif itu kita akan membangun habitus dan budaya damai yang membuka ruang bagi dirayakannya berbagai perbedaan dan diperjuangkannya keadilan untuk semua.
Dengan latar belakang dan pertimbangan di atas, serta melihat kontinuitas pergumulan dan perjuangan kita untuk membangun persaudaraan yang menghidupkan, maka dipilihlahlah tema: Allah Berdamai dengan Kita,Kita Berdamai dengan Sesama. Tema ini didasari pada teks Kolose 1:15-23. Dan, subtemanya: Membangun Budaya Damai dan Adil dalam Relasi dengan Ibu Bumi dan Sesama Manusia Sebagai Wujud Persaudaraan Yang Menghidupkan di Negara Pancasila

Allah Berdamai dengan Kita, Kita Berdamai dengan Sesama (Bdk. Kol.1:15-23)
C. Kajian Teologis
 C.1 Latar Belakang Teks Kolose 1:15-23 dan Konteks Kitab Kolose
 Kolose 1:15-23 adalah bagian yang utuh dari Kitab Kolose, yang dalam tradisi diyakini dituliskan oleh Paulus. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa bukan Paulus yang menuliskan surat ini, tetapi salah seorang muridnya yang memakai nama Paulus. Dan kebiasaan ini menjadi sesuatu yang lazim pasa masa itu, dan dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya.
Kolose adalah sebuah kota kecil dengan penduduk yang heterogen di Asia Kecil, terletak di sebelah Timur kota pelabuhan utama, Efesus, dan berdekatan dengan kota Laodikia dan kota Hieropolis. Semua kota itu disebutkan dalam surat Kolose ini. Kota Kolese pernah menjadi kota penting paling tidak selama 500 tahun sebelum zaman Paulus dan terkenal dengan industri wol dan tekstinya. Letaknya yang strategis di jalur perdangan membuat Kolose tetap bertumbuh, walaupun pada zaman Paulus kota Kolose tidak sesemarak kota-kota yang ada di sekitarnya, dikarenakan pada tahun 60 M dan 64 M kota Kolose hancur akibat gempa bumi.
 Kendati begitu, Injil yang ditaburkan mendapatkan ruang hidup di kota Kolose. Kenyataan ini yang disyukuri oleh sang penulis kitab ini. Ia bersyukur sebab Injil tentang Yesus yang sebelumnya telah diberitakan oleh Epafras, salah seorang kawan sepelayanan Paulus (1:7), dapat bertumbuh di kota itu, meskipun terdapat banyak tantangan. Dan sekalipun sang penulis belum pernah berkunjung ke kota Kolose, tetapi ia merasa bertanggungjawab untuk membimbing jemaat tersebut.Tentu, hal ini didasari oleh panggilan imannya sebagai seorang pengikut Kristus, yang walaupun belum bertemu secara fisik, tetap kontak dan relasi iman itusudah lebih dari cukup untuk menyatakan kasih dan kepedulian.Karena itulah ia menuliskan surat Kolose.
 Dalam suratnya ini, sang penulis hendak mendorong jemaat Kristen di Kolose untuk tetap mengikuti Yesus Kristus (2:6) dan tidak dibodohi oleh ajaran-ajaran sesat atau diombang-ambingkan oleh berbagai paham dan praktik keagamaan yang diajarkan di Asia Kecil pada masa itu (2:8, 16-23). Penulis juga hendak meyakinkan jemaat di Kolose untuk hidup layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya (1:10).Itu berarti mereka harus hidup sebagai umat kudus Allah.
Adapun salah satu ajaran sesat yang sedang marak di jemaat Kolose pada saat itu adalah Gnostisme.Pada masa itu, terjadi hibridasi atau percampuran antara Kekristenan dengan Gnostik. Gnostik berarti pengetahuan. Secara ringkas ajaran Gnostis itu adalah: Pertama,Allah adalah Roh yang menjadi kebaikan tertinggi. Roh itu suci.Sedangkan materi memiliki sifat jahat.Tidak ada hubungan antara Roh dan materi.Kedua, ada tingkatan antara Allah dan materi. Dengan kata lain, ada tingkatan ilah, dimana ilah terendah adalah demiurgos – pencipta semesta (kosmos) yang ada dalam Perjanjian Lama. Ketiga, manusia mengandung sebagian kecil Roh Allah dengan tubuh maya untuk membebaskan bagian ilahi yang kecil itu.Keempat, Yesus adalah emanasi seperti YHWH tetapi lebih tinggi skalanya, lebih dekat kepada Allah yang benar.Beberapa orang menempatkan Dia sebagai yang tertinggi,tetapi masih kurang dari Allah dan tentu saja bukan Tuhan yang berinkarnasi (lih. Yoh 1:14). Berhubung materi adalah jahat, Yesus tidak bisa memiliki tubuh manusia dan masih tetap Illahi.Ia hanyalah tampak sebagai manusia, tetapi sebenarnya adalah roh (lih. I Yoh 1:1-3; 4:1-6). Kelima, oleh pengajaran Kristus, manusia diajak untuk melepaskan dirinya dari sifat materi dan kembali pada Allah yang tinggi.Dan untuk bisa sampai pada tahap itu, hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya dan dibutuhkan pengetahuan khusus.
Dalam konteks yang demikian, sang penulis merasa perlu untuk membimbing mereka kepada pengenalan yang baik dan benar akan iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, surat ini dibuat dengan struktur yang diharapkan bisa menjawab tantangan di masa itu. Ada pun struktur atau susunan kitab Kolose adalah sebagai berikut:
1. Salam, Doa, dan Nyanyian Pujian bagi Kristus (1:1-23).
2. Paulus Mengajarkan Kebenaran tentang Kristus (1:24-2:19)
3. Hidup Baru di Dalam Kristus (2:20-4:6)
4. Salam Penutup dan Nasihat (4:7-18).
Dari struktur yang ada itu, menjadi jelas bagi kita bahwa Kolose 1:15-23 adalah bagian dari Nyanyian Pujian bagi Kristus. Dalam nyanyian ini terkandung pengajaran dan keyakinan tentang Kristus dan karya-Nya bagi dunia, serta implikasi praktis-etis bagi orang percaya yang hidup dalam terang pengajaran dan keyakinan tersebut.
C.2 Tafsiran Teks Kolose 1:15-23
1. Ayat 15 melukiskan Yesus sebagai penyata Allah. Allah yang tak terlihat kini menjadi terlihat di dalam Yesus. Dengan kata lain, dengan melihat Dia, orang melihat Allah, Bapa (Lih. Yoh.14.9), sebab Dia adalah gambar (eikon) Allah. Perumpaan Allah di dalam Yesus Kristus ini membuat Allah sebagai Sang Misteri dapat dikenali, dan menempatkan Yesus Kristus dalam posisi yang unik. Keunikan itu dilukiskan lebih lanjut dalam ungkapan “..yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Artinya, Yesus adalah Yang Tertinggi; Dia mempunyai kedudukan yang utama. Seperti Daud yang disebut dalam PL sebagai yang sulung, tetapi raja Daud sendiri bukan anak sulung. Istilah “yang sulung” di sini menerangkan posisi unik Yesus Kristus sebagai penyata Allah.
2. Ayat ke-16 lebih jauh melukiskan Yesus sebagai Pencipta. Di dalam Dialah segala sesuatu diciptakan. Bahkan, dikatakan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Segala sesuatu di sini melingkupi hal-hal yang bersifat jasmani maupun rohani, yang kelihatan (materi) maupun yang tidak kelihatan (imaterial). Hal ini tentu meluluhkan pandangan Gnostisisme yang membuat pembedaan dan pertentangan antara hal-hal yang rohaniah dan hal-hal yang jasmaniah, sekaligus mengingatkan jemaat di Kolose akan narasi penciptaan dalam Kejadian 1, bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu baik adanya, termasuk manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa/roh.Karena itulah segala sesuatu yang diciptakan Allah harus dijaga dan dirawat dengan penuh tanggungjawab, bukan dipertentangkan, sebab segala sesuatu adalah milik Dia. Yesus adalah pencipta dan pemilik kosmos dan segala isinya.
3. Ayat ke-17 menegaskan praeksistensi Yesus. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu. Artinya, keberadaan Yesus tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia adalah penyata Allah, dan Ia adalah Allah itu sendiri. Yesus hidup dalam persekutuan Trinitarian bersama dengan Bapa dan Roh Kudus yang malampaui kategori ruang dan waktu, dan di dalam Dialah waktu (kronos) diciptakan. Sehingga dengan menjalani kronos itu kita dapat menemukan kairos(waktu Tuhan), sebab kairos itu ada di dalam kronos. Dan sebaliknya, kronos ada di dalam kairos. Di dalam Yesus Kristus yang adalah 100% ilahi dan 100% manusiawi, kairos dan kronos berjumpa dan menyatu dalam satu kesatuan.
4. Dalam ayat ke-18 sang penulis kembali melukiskan keutamaan Kristus sebagai kepala, tetapi kali ini dari jemaat. Setelah Penulis mengungkapkan keutamaan Yesus dalam keseluruhan kosmos dan sejarah universal barulah sang penulis meletakan keutamaan Kristus dalam konteks jemaat. Itu berarti sang penulis mau meletakan hakikat keberadaan jemaat atau gereja dalam konteks karya Allah yang luas dan menyeluruh secara universal di dalam Yesus Kristus. Dan sejarah gereja itu mendapatkan titik tolaknya di dalam kebangkitan Kristus. Yesus dibunuh manusia, tetapi dibangkitkan Allah, dan Ia mengalahkan kuasa dosa dan kematian. Di dalam kebangkitan-Nya, Yesus membunuh kematian, sehingga seluruh ciptaan Tuhan mendapatkan kehidupannya kembali. Karena itu, Yesus disebut lagi sebagai yang utama dari segala sesuatu dan menjadi kepala dari gereja.
5. Ayat ke-19, sang penulis kembali mengafirmasi posisi dan kedudukan unik Yesus, bahwa di dalam Dialah Allah berdiam dalam kejasmian Yesus Kristus, dan melalui Dialah Allah melakukan karya pendamaian bagi segala ciptaan.
6. Dalam ayat ke-20 sang penulis melukiskan Yesus sebagai pendamai yang karya pendamaian-Nya itu tertuju kepada segala sesuatu (ta panta). Itu berarti Allah tidak hanya mendamaikan diri-Nya dengan manusia, tetapi termasuk alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Relasi yang rusak akibat dosa Allah pulihkan melalui karya pengorbanan Yesus Kristus, baik relasi Allah dengan manusia, relasi manusia dengan sesamanya manusia, maupun relasi manusia dengan alam, sesame ciptaan Allah. Jadi, karya penebusan dan pendamaian Yesus Kristus itu bersifat total, terkait dengan keseluruhan ciptaan-Nya.
7. Setelah menyatakan bahwa karya pendamaian itu berlaku secara universal kepada segenap ciptaan, barulah di ayat yang ke 21-22 penulis menempatkan jemaat. Jadi, kita kembali bisa menemukan pola dari yang universal ke yang partikular.Yang partikular di sini adalah jemaat atau gereja, yang dulunya memusuhi Allah dan berperilaku jahat, sekarang diperdamaikan dengan Allah melalui karya pendamaian Yesus Kristus.Di dalam Yesus, Allah menjadikan jemaat Kolose sebagai persekutuan yang kudus; persekutuan yang dikhususkan untuk menyatakan karya pendamaian Kristus dalam keseharian hidup mereka.
8. Karena itulah, dalam ayat yang ke-23 sang penulis mengungkapkan beberapa implikasi praktis-etis yang harus mereka wujudkan sebagai umat yang telah dikuduskan, yakni mereka harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak mudah goncang, dan terus menghidupi pengharapan Injil, sehingga melalui kehidupan mereka Kristus dapat dihadirkan di dalam konteks kehidupan yang mereka jalani. Dengan kata lain, jemaat ini menjadi miniatur Kristus. Sebagaimana Kristus telah menjadi jurudamai, maka mereka pun harus hadir sebagai pembawa damai dan menjadi agen transformasi sesuai dengan panggilan iman dan pengharapan di dalam Injil Yesus Kristus.

Kajian Umum Tema
Allah Berdamai dengan Kita, Kita Berdamai dengan Sesama
Teks Kolose diatas juga menyampaikan bahwa perdamaian merupakan anugerah Allah.Allah adalah inisiator perdamaian. Bukan karena inisiatif manusia untuk melakukan karya perdamaian. Karya perdamaian yang dilakukan Allah karena kasih Allah yang begitu besar pada dunia ini, bukan hanya kepada manusia tetapi juga alam semesta yang juga diciptakan oleh Allah. Seperti yang tertulis dalam Matius 3:16 “Karena Begitu Besar Kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Dari penafsiran di atas kita menemukan bahwa pendamaian yang dilakukan Allah melalui Yesus Kristus, bukan hanya pendamaian antara Allah dengan manusia. Pendamaian itu juga berlaku antara manusia dengan manusia dan alam semesta. Dengan mengikuti alur penafsiran yang telah dikemukakan di atas, kita juga menemukan bahwa di dalam Nyanyian Pujian bagi Kristus terdapat ajaran dan keyakinan tentang Yesus Kristus dan karya-Nya di tengah dan bagi dunia.Ternyata, gambaran Kristus yang dikemukakan di sini lebih tepat disebut sebagai Kristus Kosmis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dietrich Bonhoeffer. Seperti Paulus, Bonhoeffer memahami bumi dan seluruh ciptaan sebagai realitas yang diperdamaikan di dalam Yesus Kristus dan yang berusaha untuk direalisasikan dalam kehidupan kita sendiri dan seluruh ciptaan (kosmos). Dalam buku Bonhoeffer yang berjudul Ethics dikatakan bahwa “di dalam Kristus kita ditawarkan kemungkinan untuk mengambil bagian di dalam realitas Allah dan realitas dunia, tetapi tidak di dalam yang satu tanpa yang lain. Menurut Bonhoeffer, Yesus Kristus adalah pusat dari alam, kemanusiaan, dan sejarah . Ia sepenuhnya hadir di dalam alam, kemanusiaan dan sejarah, serta mendamaikan segenap semesta dengan diri-Nya. Karena itulah, melalui alam, kemanusiaan, dan sejarah (kronos) kita dapat menemukan wajah Kristus atau wajah Allah. Di dalam wajah kemanusiaan dari orang-orang Yahudi yang dibantai oleh Hitler di zaman Nazi misalnya, Bonhoeffer menemukan wajah Allah yang memanggilnya untuk membela hak hidup orang Yahudi, dan itu berarti ia harus menentang pemerintahan Nazi yang menjadi simbol pemusnahan dan kematian.

Teolog dan mistikus Katolik seperti Fransiskus dari Asisi adalah contoh lain dari sosok yang sangat memegang teguh dan mengimplementasikan keyakinan Kristus Kosmis itu dalam keseharian hidupnya. Semua mahluk menjadi sahabat Fransiskus dari Asisi.Seperti yang dikisahkan oleh Berkhoof dan Enklaar, Fransiskus Asisi konon suka bercakap-cakap dengan bunga dan burung-burung (Berkhoof dan Enklaar, 2015: 91).Yesus sebagai pendamai adalah faktor yang mendorong kecintaan Fransiscus kepada alam dan manusia. Kolose 1:16 adalah dasar bagi Fransiscus untuk hidup damai dengan sesame manusia dan alam Hal ini tampak dalam tulisan St. Fransiskus "Kidung Saudara Matahari", dimana semua makhluk ciptaan diundangnya untuk bersyukur dan memuji Allah. Kekuatan Kristus Kosmis membawa Fransiskus Asisi untuk bergiat sebagai pejuang perdamaian, bukan hanya dalam hubungan antar-manusia di kala itu, tetapi juga dalam konteks relasi manusia dengan alam. Karena itu, tidak heran kalau pada 29 November 1975 Paus Yohanes Paulus II mengkukuhkan St. Fransiskus Asisi sebagai "Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup" atau “Pelindung Ekologi.”

Dua tokoh gereja (Protestan dan Katolik) di atas adalah contoh dari praksis hidup bergereja yang secara jitu dapat menimba inspirasi dari pemahaman dan keyakinan Kristus Kosmis, Kristus mati dan bangkit untuk menebus dan mendamaikan seluruh ciptaan dengan Allah.Itu berarti Kristus Kosmis mampu membangkitkan daya dorong yang besar untuk memperjuangkan perdamaian semesta.Bahkan, lewat kematian dan kebangkitan Kristus itu, sebagaimana yang dikemukan oleh Rene Girard, kita dapat melihat bagaimana Allah menelanjangi kuasa kejahatan dan kekerasan.Lewat salib dan pengurbanan Kristus, politik kambing hitam ditelanjangi dan dihentikan.Dan di atas salib itu juga kita menyaksikan bagaimana kasih Allah yang tanpa batas itu merangkul para korban ketidakadilan dan kaum-kaum marginal. Dengan kata lain, Kristus yang mati dan bangkit itu menolong kita untuk melihat kehidupan bukan sebagai ajang kontestasi untuk saling mengalahkan, melainkan menempatkan semua ciptaan sebagai sahabat Allah untuk saling mengisi dan berbagi.Sebab, Allah sudah berkenan berdamai dengan kita.Ia sudah melakukan karya pendamaian itu dengan total dan utuh dalam Kristus Kosmis, maka kita sekarang dipanggil untuk berdamai dengan sesama. Sesama yang dimaksudkan di sini bukan hanya manusia, tetapi termasuk alam dan segala isinya.

Teologi pendamaian dari Kristus Kosmis menawarkan kepada kita cara melihat yang baru, dan mendorong kepada praksis yang memuliakan kehidupan. Di dalamnya terdapat panggilan teologis untuk memperjuangkan perdamaian, kedailan, dan keutuhan ciptaan. Dan GMKI sebagai bagian dari gereja, atau yang kerap disebut sebagai gereja incognito, gereja yang tersamarkan atau gereja yang tidak kelihatan, harus mampu mewujudnyatakan panggilan teologis itu dalam konteks kehadiran GMKI di masa kini, yang masih diwarnai oleh kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan atas nama agama/fundamentalisme, dan kerusakan lingkungan.

Keasadaran GMKI untuk hidup damai dengan agama lain yang ada di Indonesia sudah dimulai sejak awal pembentukan GMKI. GMKI sangat sadar dengan keberagaman yang ada di Indonesia. Dalam buku Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Dalam Gejolak Perubahan Dari Zaman ke Zaman disampaikan bahwa pada tahun 1953 saat kongres III GMKI, sudah ada pembahasan tentang dialog agama-agama. Pada tahun 1950-an, dialog-dialog ini dilakukan untuk saling berkenalan . Selanjutnya pada tahun 1960-an dialog agama-agama dilakukan secara sistematis.  Tidak hanya ideologi agama yang dibahas pada waktu itu. Ideologi-ideologi barat seperti kapitalisme dan komunisme dipelajari dengan serius oleh para pendahulu GMKI.

Tapi konteks saat ini, kita sering terjebak dalam perdamaian yang tidak holistik. Cukup hidup damai dengan Tuhan tanpa memanifestasikannya terhadap sesama manusia dan alam. Atau sebaliknya terlalu sibuk dengan hiruk pikuk kehidupan sosial sampai lupa karya pendamaian yang dilakukan Allah. Artinya aktivitas sosial dan mencintai alam tidak didasari oleh karya pendamaian Allah. Seperti dualisme dalam gnostis – yang membedakan antara yang Roh dan yang materi, dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjebak dalam dualisme kehidupan rohani dan duniawi. Ibadah hari Minggu kita memuji Allah, tetapi pada hari-hari yang lain kita memuji allah yang lain. Pada hari Minggu kita memuji Allah tetapi pada hari-hari yang lain kita menyakiti sesama.  Kita bisa memuji Tuhan dalam setiap pagi tetapi setelah itu, pujian itu tidak termanifestasi dalam tindakan terhadap sesama manusia.Seolah-olah kehidupan saat ibadah hari Minggu dan saat teduh di pagi hari merupakan dua hal terpisah.Ibadah Minggu di gereja dan saat teduh adalah kehidupan rohani yang lebih suci dibandingkan kehidupan duniawi.

Dalam buku Labirin Kehidupan, Joas Adiprasetya menulis refleksi tentang liturgi Orthodox.Dalam buku tersebut dituliskan tentang Seorang Theolog Orthodox dari Rumania bernama Ion Bria menulis sebuah buku yang berjudul TheLiturgy after The Liturgy. Ada dua jenis liturgi yaitu liturgi ritual dan liturgi kehidupan. Kedua liturgi ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Kedua liturgi ini merupakan siklus yang dijalani manusia.Saat mengikuti liturgi ritual umat dipersiapkan untuk masuk dalam liturgi kehidupan.

Selain dualisme itu, banyak paham-paham yang merusak pendamaian yang sudah diwujudkan Yesus.Paham tersebut merusak pendamaian antara sesama manusia juga pendamaian antara manusia dengan ciptaan lainnya.Fundamentalisme agama yang tidak mampu menerima perbedaan iman antara penganut agama lainnya merusak hubungan manusia dengan manusia lainnya.Kapitalisme dan konsumerisme mampu merusak bukan hanya hubungan antara sesama manusia tetapi juga antara manusia dengan ciptaan lainnya.Dalam buku Justice Not Greed yang diterbitkan oleh World Council of Chruches, Musa Panti Filibus mengatakan krisis yang terjadi dalam proses pembangunan adalah karena adanya ketamakan. Ketamakan mendorong orang untuk merampas hak yang lemah. Dalam buku yang sama Metropolitan Geevarghese Mor Corilos menyampaikan bahwa kedaulatan Tuhan diganti menjadi kedaulatan Mamon (modal).

Pendamaian itu sudah dilakukan Yesus secara penuh dan utuh.Sekarang kita perlu menghadirkan karya pendamaian Kristus Kosmis itu dalam relasi kita dengan sesama ciptaan Allah.Karena itulah, dalam kongres kali ini, GMKI diajak untuk melangkah dalam terang keyakinan dan panggilan teologis: Allah Berdamai dengan Kita, Kita Berdamai dengan Sesama.

D. Tantangan dan Praksis Medan Layan GMKI
1) Gereja

Cukup jamak terjadi penindasan terhadap agama-agama yang minoritas secara kuantitas yang dilakukan oleh agama atau aliran mayoritas. Penyerangan secara fisik, merusak rumah ibadah, maupun terror dilakukan untuk merusak perdamaian antar agama di Indonesia. Bukan hanya tindakan-tindakan vandalis yang dilakukan oleh oknum tertentu, negara melalui kebijakannya juga bisa melakukan penindasan atas nama agama.

Sejak SBY menjadi Presiden pada tahun 2004, jumlah kekerasan yang terjadi adalah sebanyak lebih dari 400 kasus. Rumah ibadah yang dirusak salah satunya adalah gereja. Apalagi sejak berlaku surat keputusan bersama 2 menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/ wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat yang dirasa sangat sulit. Ketika ijin tidak diberikan, dan rumah ibadah tetap melaksanakan ibadah maka oknum-oknum tertentu tidak segan-segan melakukan kekerasan dan merusak rumah ibadah. Bahkan rumah ibadah yang sudah memiliki ijin, bisa dipolitisir untuk dirusak.

Peristiwa pembakaran gereja di berbagai tempat di Indonesia. Masih segar diingatan kita pembakaran gereja di Aceh Singkil tahun 2015, perobohan gereja HKI di Samarinda, dan kasus GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia yang jemaatnya diberikan ijin beribadah di gereja mereka. Selain itu,  perlakukan semena-mena kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah, pemboman vihara, dan pembakaran yang terjadi saat sholat Ied saat Idul Fitri pada tahun 2015. Semua persitiwa itu adalah sebagian potret kehidupan beragama di Indonesia. Tapi itu bukan potret yang utuh. Kehidupan beragama yang rukun yang didukung oleh berbagai institusi agama. Rumah ibadah saling bersampingan dan hidup antar umat beragama yang berdampingan.

Hans Kung, pakar kajian agama-agama menyimpulkan keterkaitan antara perdamaian dan agama “there can be no peace among the nations without peace among religions; no peace among the religions without dialogue among the religions” – tidak ada perdamaian diantara negara-negara tanpa perdamaian diantara agama-agama; tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa dialog diantara agama-agama. Tentuungkapan Kung ini sangat relevan dengan Indonesia yang sangat beragam agama yang ada di Indonesia. Gereja sebagai institusi agama turut bertanggung jawab dalam mewujudkan perdamaian antar agama dan perdamaian dalam bangsa Indonesia. Gereja hadir untuk melakukan dialog bersama dengan agama-agama lain.

Dalam konteks kekristenan, sejak awal kekristenan juga sudah juga sudah memiliki pengalamandengan pluralitas agama.Kekristenan bertemu dengan Judaisme dan paham Helenistik (Yunani) yang masuk dalam intervensi emporium Romawi.Bahkan pada abad pertama sampai kelima merupakan awal-awal dokrtin Kristen bahkan perumusan pengakuan iman rasuli. Dan pada saat yang sama kekristenan bertemu dengan paham-paham tersebut.Kemajemukan memang  kemutlakan di Indonesia, termasuk kemajemukan agama. Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menyatukan majemuknya Indonesia. Setiap agama yang ada di Indonesia memang diperintahkan untuk menjadi berkah bagi orang lain. Islam sebagai agama yang Rahmatan’lil Alamin, dalam agama Hindu meyakini adanya jiwa yang ilahi dalam setiap manusia, dan dalam iman Kristen manusia itu diciptakan sesuai dengan gambar Allah. Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan kekerasan kepada manusia yang lain.

Meskipun berteman dan menerima orang yang berbeda agama, tidak berarti kitaterjebak dalam relativitas semua agama itu sama. Pesan untuk saling mengasihi sesama manusia  memang sama, tetapi masing-masing agama tetap memiliki identitas iman masing-masing. Melalui perjumpaan dengan agama-agama lain, iman kekristenan semakin dikuatkan. Yesus adalah teladan dalam menjalin persahabatan dengan sesama manusia tanpa dibatasi agama atau pembatas lainnya.

Dalam dokumen Who Do We Say That We Are, Christian Identity in a Multi Religious World yang dikeluarkan oleh WCC . Dalam dokumen tersebut disampaikan bagaimana Kekristenan menjalin hubungan dengan agama-agama lain. Pada tahun 1989 dalam konfrensi San Antonio Commission on World Mission and Evangelism (CMWE) dismapaikan bahwa kita tidak bisa menunjuk jalan keselamatan selain Yesus Kristus, tetapi kita tidak dapat membatasi kekuasaan penyelamatan Tuhan. Semangat inklusivitas dengan umat yang berbeda iman dan agama harus diekspresikan oleh gereja. Tidak mengedepankan eksklusivitas keselamatan.

2) Perguruan Tinggi

Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk Indonesia pada usia 18-25 tahun yang duduk di perguruan tinggi hanya ada sekitar 18,4% atau sama dengan 4,8 juta jiwa. Tentu jumlah ini masih terhitung kecil. Masih sangat banyak anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan kesempatan untuk bisa menempuh pendidikan sampai pada level perguruan tinggi.

Salah satu penyebab rendahnya angka partisipasi ini adalah tingginya biaya kuliah. Persepsi bahwa pendidikan itu mahal masih melekat di penyelenggara pendidikan di Indonesia. Argumentasi pendidikan di Amerika itu bagus karena negara tidak mengintervensi pendidikan. Tetapi melupakan fakta pendidikan terbaik di dunia saat ini ada di Finlandia, dan Finlandia merupakan salah satu negara kesejahteraan.

Pada awalnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai jawabanuntuk meningkatkan partisipasi perguruan tinggi karena mendapatkan subsidi yang besar dari pemerintah untuk operasional. Saat ini PTN tidak lagi menjawab kebutuhan. Biaya berkuliah di Negeri dan Swasta cenderung sama. Apologi biaya operasional kampus yang tinggi mengakibatkan negara tidak mampu memberikan subsidi. Kemudian pada tahun 2012 pasca dkeluarkannya UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, muncullah Uang Kuliah Tunggal sebagai turunan dari Undang-undang.

Seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara untuk tetap memberikan subsidi kepada rakyatnya yang mau menggapai pendidikan tinggi. Tidak terjebak dalam liberalisasi pendidikan dengan cara melakukan privitasasi. Kampus diberikan kebebasan untuk mencari pendanaan termasuk membebankan biaya kepada mahasiswanya dan menjalankan usaha lainnya.

Pada akhirnya yang mampu meraih pendidikan tinggi hanya mereka yang memiliki uang. Orang miskin dilarang masuk perguran tinggi karena tidak mampu membayar. Padahal pendidikan adalah hak semua warga negara bukan hanya warga negara yang kaya. Tetapi juga warga negara yang miskin secara materi.

3) Masyarakat
Richard Peet menyampaikan bahwa Pembangunan yang sejatinya bermakna usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Namun, faktanya pembangunan fisik seringkali mengorbankan manusia dan alam. Pertumbuhan ekonomi atau motif ekonomi harus berhadap-hadapan dengan kepentingan sosial dan lingkungan. Seperti dalam Produk Domestik Bruto yang hanya mengakumulasi hasil dari 9 sektor, tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan yang diakibatkan sektor-sektor tersebut. Berapa banyak air yang dihabiskan untuk pertambangan, berapa banyak mata air yang akhirnya tertutup karena pembangunan hotel. berapa banyak karbondioksida yang dihasilkan dari produksi kenderaan bermotor yang berlebihan. Berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk pertambangan. Semua itu tidak tercantum dalam Produk Domestik Bruto.

Dampak pembangunan dari sisi sosial bisa dilihat dari perubahan sektor dominan pada tahun 2000 dibandingkan tahun 2014. Dulu, sector pertanian merupakan sector yang dominan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik,  Kontribusi sector ini pada tahun 2000 adalah 15,6 %, sedangkan pada tahun 2014 terjadi penurunan yaitu sekitar 12,06% dari total PDB Indonesia. Pertumbuhan sector pertanian juga sangat kecil jika dibandingkan dengan sector-sektor lainnya, yaitu 3,29% pada tahun 2014.  Sementara sector-sektor lainnya sudah mencapai angka diatas 5% untuk pertumbuhannya.  Sangat ironis, ketika melihat tenaga kerja yang bekerja berdasarkan Sembilan sector yang sama di PDB, paling banyak tenaga kerja yang bergantung pada sector pertanian. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sector ini adalah 34% dari total tenaga kerja keseluruhan. Sangat tidak seimbang antara produksi yang dihasilkan dengan jumlah orang yang menggantungkan hidup pada sector tersebut.Jadi, Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia (yang dihitung dari total produksi 9 sektor yang menyusun PDB) tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun tetapi mayoritas rakyat Indonesia tidak merasakan dampak positif.

Secara individu kita juga masih belum memiliki kesadaran yang utuh untuk menjaga lingkungan ini. Gaya hidup kita yang  tidak ramah terhadap lingkungan. Rasa malas untuk jalan kaki atau ogah naik transportasi publik dan lebih memilih menggunakan kenderaan pribadi. Penggunaan kosmetik, sabun, shampoo dan berbagai barang sehari-hari secara berlebihan, tidak menyadari bahwa dalam setiap produk itu mengandung  CrudePalmOil (CPO), masih menggunakan plastik sebagai wadah barang-barang, mengkonsumsi makanan dan minuman yang menggunakan kemasan plastik, penggunaan kertas yang tidak bijak, dan tidak jarang menyisakan banyak makanan setelah dipesan karena yang dipenuhi adalah nafsu mata.
Saat ini sudah mulai digagas green PDB dimana memperhatikan aspek lingkungan dalam PDB. Jadi bukan hanya produksi dari 9 sektor dan pertumbuhan ekonomi (PDB) dari tahun ke tahun. Tetapi juga PDB sudah mencerminkan nilai yang diakibatkan kerusakan lingkungan dari produksi 9 sektor tersebut. Tidak hanya itu Anggaran Penerimaan Belanja Negara juga sudah harus berpihak kepada lingkungan, dan kepada masyarakat yang terpinggirkan juga. Sedangkan untuk pemerataan ekonomi sehingga manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut dirasakan seluruh lapisan masyarakat merupakan satu hal yang mutlak.Baik negara, korporasi, dan individu jangan terjebak dalam keserakahan. Kita semua hanrus mengingat bahwa bumi ini diciptakan bukan hanya untuk generasi saat ini saja tetapi juga untuk generasi-generasi mendatang.

Sub Tema:Membudayakan Hidup Damai dan Adil dalam membangun Relasi dengan Ibu Bumi dan  Manusia Sebagai Wujud Persaudaraandi Negara Pancasila

Membangun Budaya Damai dan Adil
Perdamaian yang kita konsepsikan secara sempit adalah ketika absennya perang atau konflik. Ketika kita selesai berperang/ berkonflik kemudian muncullah perdamaian. Perdamaian selalu hadir saat setelah perang/ konflik itu selesai. Padahal menurut Galtung Johan, konsep perdamaian secara luas adalah absennya kekerasan struktural dan kekerasan kultural . Bahwa banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, di belahan dunia barat dan timur, maupun dunia bagian utara dan selatan. Ketimpangan itu juga terjadi di komunitas masyarakat, ketimpangan berdasarkan status sosial maupun pendidikan. Kekerasan kultural ini adalah simbolik, ada dalam agama dan ideologi, dalam bahasa dan seni, dalam ilmu pengetahuan dan hukum, dalam media dan pendidikan.
Menurut Galtung, ada dua defenisi perdamaian, yaitu yang pertama tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan. Yang kedua adalah transformasi konflik kreatif non kekerasan. Dalam Alkitab ada beberapa kata yang digunakan untuk kata damai. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata shalom dan dalam dalam bahasa Yunani digunakan kata eirene. Eirene dalam bahasa Yunani bermakna keadaan tanpa perang. Sedangkan makna shalom adalah bukan hanya tidak ada perang tetapi tidak adanya ketidakadilan. Arti dasarnya adalah kepenuhan, keadaan lengkap, keutuhan, kesempurnaan, situasi terbaik, damai sejahtera. Shalom bukan hanya sekedar hadiah tetapi tugas yang harus diperjuangkan.  Sedangkan Kekerasan atau hamas artinya tidak melakukan kewajiban terhadap sesama, setiap tingkah laku sosial yang berlawanan dengan keadilan. Salah satu ciri utama dari kekerasan adalah penindasan yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah.
Pierre Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap dalam di dalam diri manusia tersebut. Pengaruh lingkungan yang ada di sekitar setiap individu sangat besar dalam membentuk habitus seseorang.
Jika kita dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kemarahan dan rasa benci tentu akan membentuk habitus yang membenci dan penuh kemarahan juga. Berbeda jika kita hidup dan dibesarkan dalam lingkungan yang memegang nilai-nilai perdamaian, mampu menerima perbedaan, mencintai alam, maka habitus yang terbentuk adalah sikap-sikap yang menjadikan damai sebagai thewayoflife. Karena nilai-nilai itu dihayati terus menerus melalui orang-orang yang ada di lingkungan setiap individu.
Yesus adalah juru damai. Perdamaian yang sudah dilakukan oleh Yesus adalah perdamaian yang holistik. Segala kekerasan yang dilakukan oleh manusia yang menyakiti manusia lainnya, menyakiti ciptaan  lainnya bisa merusak  karya perdamaian yang dilakukan oleh Yesus. Damai itu harus menjadi the way of life kita sebagai bentuk keteladanan yang kita ikuti dari Yesus.

Membangun Relasi dengan Ibu Bumi dan  Manusia

Relasi yang ideal adalah realasi saling membangun. Relasi yang konstruktif.  Relasi yang konstruktif ini dibangun tidak hanya dengan sesama manusia tetapi juga Relasi antara manusia dengan alam. Unsur jalinan relasi yang benar dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri dan ciptaan lainnya. Jalinan relasi yang benar menurut Nobert Betan setidaknya mengandung 2 unsur, yaitu kesetiaan dan tanggung jawab . Seperti Allah yang selalu setia dan bertanggung jawab kepada umatNya. Hal yang serupa harus dilakukan manusia, dimana harus setia dan bertanggungjawab kepada Tuhan, sesama manusia dan ciptaan lainnya.

Selain itu, diperlukan juga keharmonisan dalam relasi. Harmonisasi itu muncul dalam heterogenitas yang berpadu tanpa kehilangan identitas masing-masing. Relasi yang harmonis itu tidak meniadakan perbedaan. Seperti Indonesia yang sangat heterogen tidak boleh meniadakan perbedaan dan mengubah heteregonitas menjadi homogenitas.

Tuhan menciptakan semesta tidak homogen. Berjuta-juta spesies diciptakan oleh Tuhan. Segala yang diciptakan Allah baik adanya.Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya.Allah juga menciptakan manusia.Ada langit, ada daratan dan air; ada hewan yang melata, hewan yang terbang di udara dan berenang di air, ada siang dan ada malam, ada gelap dan ada terang.Taman Eden yang indah mampu memenuhi kebutuhan manusia.

Pada saat revolusi industri dimulai di Inggris, manusia merasa hebat. Semangat antroposentris sangat berkembang pesat. Perspektif yang dipakai adalah manusia adalah pusat dari bumi ini. Segala ciptaan yang ada di bumi hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Dalam kurun waktu 300 tahun sejak revolusi industri tersebut, bumi menjadi rusak. Perusakan dari segala aspek dilakukan oleh manusia. Polusi yang merusak bumi ada di udara, air dan tanah.

Dalam kejadian 1 dituliskan manusia untuk menguasai bumi. Ayat ini kemudian digunakan untuk melakukan eksploitasi alam. Bahwa manusia lebih tinggi derajatnya dari ciptaan lainnya. Semangat antropenstris, dimana menjadikan manusia sebagai pusat bumi ini selalu didengungkan. Akhirnya manusia merasa bumi dan ciptaan lainnya sebagai “yang lain” dari manusia itu sendiri.

Dalam dokumen Laudato Si’ yang ditulis oleh Paus Fransiskus menerangkan adanya misinterpretasi kata “menguasai” pada Kejadian 1:28.  Misinterpretasi ini telah mendorong eksploitasi alam secara liar dengan memberi gambaran tentang sifat manusia yang dominan dan destruktif. Dalam proses penciptaan ini memang harus dimaknai dengan utuh. Pada Kejadian 2: 15, Allah memerintahkan untuk “mengusahakan” dan “memelihara”. “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam.

Perdamaian manusia dengan alam tergambar dengan jelas dalam kitab kejadian 2 ayat 8 sampai 25. Tuhan menempatkan manusia ke dalam taman eden yang sempurna dengan tugas untuk mengusahakan dan memelihara taman eden. Manusia bisa memakan apa saja yang ada di taman eden kecuali buah pengetahuan. Manusia ditempatkan Allah di dalam taman Eden bersama-sama dengan ciptaan lainnya. Keharmonisan dengan ibu bumi seharusnya diwarnai oleh kesatupaduan yang menyeluruh dari semua ciptaan, yang hidup bersama-sama di alam semesta ini sebagai saudara-saudari satu sama lain.
Didalam segala sesuatu kita dapat melihat wajah Kristus. Dalam segala sesuatu Allah hadir. Ketika kita merusak bumi, kita sudah melukai hati Tuhan. Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat alam dan menjadi sahabat bagi sesama manusia.

UT OMNES UNUM SINT

1 komentar: